Jumat, 30 Maret 2012

BBM dan Rokok

Saat BBM naik 1500 rupiah, terjadi demonstrasi menolak kenaikan harga. Rakyat tidak setuju. Karena akan menambah beban pengeluaran. Anggaran belanja keluarga yang sudah sakit-sakitan jadi kritis. Tidak naik saja sudah pas-pasan apa lagi kalo naik, bisa mati berdiri.
Jika boleh usul saya ada masukan untuk mengatasi kondisi keuangan rakyat yang pas-pasan ini.

Usul pertama, BBM tidak naik tapi harga rokok perbungkusnya naik. Jadi semacam subsidi silang. Logika saya begini, jika per bungkusnya rokok bisa naik minimal 5000 rupiah, yang uang tersebut kemudian diserahkan kepada negara, maka bisa menutup kenaikan harga BBM yang 1500 tadi. Saya agak optimis dengan usul ini, melihat banyaknya penggemar fanatik rokok di Indonesia. Pemerintah juga tidak perlu takut bakalan di demo para smokers. Karena pada dasarnya rokok bukanlah kebutuhan pokok. Jika para smokers ini nekat berdemo, pemerintah bisa bilang : Kalo tidak bisa beli, ya tidak usah merokok, khan lebih sehat.... (gitu saja kok repot). Dijamin para smokers pasti bakal bubar gak jadi demo. Lain dengan BBM yang termasuk kebutuhan pokok, semua orang harus beli berapapun harganya. Perusahaan rokok dan para petani tembakau juga tidak perlu kawatir bakal menurun penghasilannya, karena menurut saya jumlah orang yang berhenti merokok lebih sedikit dari jumlah orang yang mulai merokok. Karena image yang tertanam di masyarakat merokok itu keren, cool, gaul, jantan. Wuih... siapa yang gak mau. Di Indonesia dari yang balita sampai yang udah tua mau mati, adalah pangsa pasar yang luar biasa banyaknya. Lagi pula para smokers ini orang-orang yang sangat loyal.

Usul kedua, maaf buat seluruh rayat Indonesia, adalah BBM naik tapi stop merokok. Mengapa? Karena ini adalah langkah pengefektifan anggaran belanja rakyat. Pengeluaran yang tampak kurang bermanfaaat bahkan cenderung merugikan bisa kita singkirkan. Misalnya anggaran untuk beli rokok. Rakyat Indonesia yang katanya wong cilik, orang tidak punya, kurang gizi tapi bisa membeli rokok yang perbungkus seharga 12.000 tapi tidak mampu membeli BBM seharga 6000? Sepertinya jadi kurang masuk akal. Sebetulnya uangnya ada, cuman peruntukkannya saja yang perlu diubah. Seandainya saja kita bisa berhitung, maka kebutuhan rokok kita perhari lebih besar dari kebutuhan BBM kita perhari. So, masih ada sisa uang. Dengan uang 12.000 kita bisa membeli beras 1.2 kg, cukup untuk makan sehari 3 kali buat 4 orang. Jadi tidak perlu makan nasi aking. Dengan 12.000 bisa buat beli telur 12 butir, tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan protein tapi juga cukup membuat kita bisulan :D  Jika per hari 12.000 maka satu bulan 360.000, itu cukup untuk bayar SPP, jadi bisa untuk menyekolahkan anak. Apakah tidak lebih mudah untuk berhenti merokok dibanding harus melawan pemerintah? Bukannya melawan pemerintah ibarat cicak melawan buaya. Lagi pula jika jumlah perokok di Indonesia ini berkurang, maka anggaran kesehatan negara pun bisa ikut dihemat, sukur-sukur sisa uang lebihnya bisa untuk menambah subsidi BBM.

Demikian kedua usul saya yang cukup brilian :D Semoga bisa menambah ide untuk kita semua. Trimakasih sudah mampir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar